Pages

Selasa, 16 Oktober 2012

Strategi Pengembangan Sains dan Teknologi


1. Penciptaan paradigma baru tentang Sains dan Teknologi
Cara pandang terhadap sains-teknologi yang merupakan bagian dari studi Islam (ontologi, epistimologi, aksiologi). Paradigma ini tidak memisahkan sains-teknologi dalam posisi diametral dengan agama.
  • Ontologi
  • Untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. dan lebih dari 750 ayat membahas tentang fenomena alam.
  • Epistimologi
  • Pengembangan sains-teknologi dalam Islam harus memadukan pola berpikir bayani (teks al-Quran sebagai inspirasi), burhani(melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi, dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya), dan irfani(pengembangan sains untuk misi ke khalifahan di bumi).
  • Aksiologi
  • Sains-teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam : meningkatkan kesejahteraan manusia dan menjaga kelestarian alam.
2. Kebijakan Pemerintah yang pro pengembangan sains-teknologi
Diwujudkan salah satunya melalui jalur pendidikan.

Minggu, 14 Oktober 2012

Kemunculan Sains dalam Peradaban Islam

Pengetahuan kita saat ini dari sumber-sumber asli tidak memperoleh gambaran jelas mengenai tahap-tahap awal sains dalam peradaban Islam. Dapat dikatakan bahwa munculnya sains terjadi pada paruh kedua dari abad kedua lahirnya Islam. Namun, pada saat itu lembaga sains dalam Islam sudah mapan dengan cabang-cabang yang definitif dan ilmuwan berkaliber internasional bekerja dalam disiplin ilmu seperti kosmologi, geografi, astronomi, dan kimia. Dengan demikian, sampai kita menemukan naskah baru dan sumber-sumber primer lainnya, kisah munculnya sains dalam peradaban Islam dapat dikatakan terjadi sekitar tahun 777. Pada tahun tersebut, Jabir bin Hayyan, salah satu ilmuwan Muslim masa awal ini dikatakan telah wafat.

Meskipun kurangnya sumber-sumber awal, kita yakin bisa melacak dua cabang sains—kedokteran dan astronomi—sampai ke jaman Nabi karena memiliki sumber yang memungkinkan untuk diverifikasi dalam menceritakan munculnya kedokteran dan astronomi di Madinah. Perkataan Nabi yang menyangkut kesehatan, penyakit, kebersihan, penyakit khusus, dan sekaligus pengobatan telah dikompilasi secara sistematis oleh generasi Muslim kemudian. Literatur ini memberikan dasar bagi suatu cabang ilmu kedokteran tertentu dalam Islam: al-Tibb al-NabawiTata Cara Pengobatan Nabi. Banyak buku tentang tata cara pengobatan Nabi dapat kita akses. Bahasannya tidak hanya tentang bagaimana cabang kedokteran muncul, tetapi berisi pula diskusi-diskusi teoretis canggih pada kisaran seluruh pelajaran yang berhubungan dengan kesehatan dan kedokteran dalam Islam (Al-Jauziyyah, 1998). Demikian juga astronomi, bangsa Arab pra Islam secara radikal berubah di bawah pengaruh doktrin kosmologis Al-Quran yang melahirkan literatur astronomi khas Islam, umumnya disebut sebagai kosmologi bercahaya (al-hay’a as-saniya).

Ilmu-ilmu awal ini digunakan secara praktis oleh komunitas Muslim pertama yang tinggal di Madinah sebagai negara Islam yang baru, tetapi tidak hanya aspek utilitarian mereka yang menarik bagi kita di sini; apa yang menjadi perhatian kita adalah jaringan intrinsik dari ilmu-ilmu ini dengan Islam. Fondasi kedua cabang sains tersebut dapat ditunjukkan memiliki hubungan langsung dengan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dua sumber yang mendefinisikan semua hal tentang Islam. “Ini adalah bukan suatu kebetulan”, kata George Saliba, “tradisi matematika astronomi yang membahas dasar-dasar teoritis astronomi juga didefinisikan sebagai tradisi hay’a [kosmologis], meskipun jarang menyentuh Al-Quran untuk referensi doktrin kosmologis” (Saliba, 1994:17). Demikian pula ilmu-ilmu lain yang muncul dalam peradaban Islam dapat dikatakan memiliki hubungan intrinsik dengan pandangan dunia Islam, meskipun tentu saja menerima bahan-bahan dari peradaban lain. Jaringan dan koneksi secara terus menerus membangun sejarah munculnya sains dalam peradaban Islam.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Tipologi Agama dan Sains

Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains?.

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi hasil aplikasi sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama (A. Sahirul Alim,1999:67).

Sebagai makhluk berakal, tentunya manusia juga sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Dan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama. Namun, hendaknya terlebih dahulu dipahami konsep dan paradigma sains menurut para ilmuwan. Secara terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan yang sistematik dan obyektif serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan, dkk, 1999:577 ).

Sedangkan menurut Achmad Baiquni (1995:58) mendefinisikan sains sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat diterima oleh akal, sains disusun atas dasar intizhar pada gejala-gejala alamiah yang dapat diperiksa berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam eksperimen laboratorium. Kata intizhar (nazhara) dapat berarti mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tak bernyawa. (Abuddin Nata, 1993:100).

Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (2004:41) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.


Sebagai penguasa yang memiliki rasa tanggung jawab, manusia ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di bumi yang tidak lain adalah untuk memelihara dan mengelolanya.

Untuk memperoleh kemampuan itu, manusia harus mengenal alam lingkungannya dengan baik melalui pengamatan terhadap alam sekitar dan mengkaji gejala- gejala yang tampak pada pengamatan itu. Dengan metode yang sudah ditetapkan, sains mengupayakan pemahaman rasional atas alam fisik hingga melahirkan keyakinan dan mengikis keraguan. Metodologi yang diturunkan dari seperangkat aturan dan kriteria yang koheren ini sekarang benar-benar dapat diinterpretasikan atas dasar fakta-fakta yang dapat diverifikasi oleh siapapun. (Pervez Hoodbhoy, 1993:3).

Sementara itu dalam perjalanan sejarah sains sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang obyektif, karena dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya oleh banyak orang. Karakternya yang sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama. Seperti yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat menganggap bahwa agama lahir dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan sains dianggap pasti berdasarkan akal, sebab fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diakui kebenarannya. Mereka berfikir bahwa nalar memiliki fondasi tersendiri tanpa harus merujuk kepada realitas transenden. Sejak saat itu, dunia sains di Barat terbangun dengan sikap menyingkirkan agama dari kontek pencarian pengetahuan. (Bruno Guiderdoni,2004:43). Paham sekularitas sains inilah yang kerap menimbulkan kontroversi dalam hubungannya dengan agama.

Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan memebuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.